Rabu, 15 Oktober 2014

ANALISIS UNSUR INSTRINSIK CERPEN



ANALISIS UNSUR INTRINSIK CERPEN
MATA YANG ENAK DI PANDANG
(AHMAD TOHARI)



DISUSUN OLEH:
KELOMPOK OPERATION WEDDING :
1.IKO SEPTIAN PUSPITA DIANTI
2.YAYUK ANGGRAENI
3.RINA ASTATI


SMK AIRLANGGA BALIKPAPAN
XII AKUTANSI 2
2014

MATA YANG ENAK DIPANDANG
(Karya Achmad Tohari)

            Di bawah matahari pukul satu siang, Mirta berdiri diseberang jalan depan stasiun. Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras pisang;kering,compang-camping dan gelisah. Mirta merekam lintang-pukang lalu lintas dengan kedua telinganya. Dengan cara itu pula Mirta mencoba menyelidik dimata Tarsa,penuntunnya,berada. Namun MIrta segera sadar bahwa Tarsa memang sengaja meninggalkan dirinya ditempat yang terik dan suli itu. Memanggang Mirta di atas aspal gili-gili adalah  pemerasan kali ini untuk segelas es limun. Tadi pagi Tarsa sengaja membimbing Mirta boleh mendesis dan mengumpat sengit. Tapi Tarsa tertawa,bahkan mengancam akan mendorong Mirta ke dalam got kecuali Mirta mau memberi sebatang rokok. Sebelum itu,Tarsa menolak perintah Mirta agar ia berjalan agak lambat. Perintah itu baru dipenuhi setelah Mirta membelikannya lontong ketan.
            Mirta jengkel dan tak ingin diperas terus menerus . Ia akan mencoba bertahan  maka mesti kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit, Mirta tak ingin memanggil Tarsa . Berkali kali ditelannya . Dan matahari pukul satu siang tak sedetikpun mau berkedip. Sinarnya jatuh harus menembus batok kepala Mirta dan membawa seribu kunang-kunang. Mirta mulai goyang. Ia bergerak untuk mencari tempat yang teduh dengan kekuatan sendiri. Kaki yang bergetar itu mencoba turun dari gili-gili. Namun, sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson serentak membentaknya. Mirta terkejut dan surut.
            Kembali menjadi patung kelaras yang gelisah, Mirta berdiri goyang di atas gili-gili. Kunang-kunang lebih banyak lagi masuk kerongga matanya yang keropos. Kedua kakinya bergerak lagi. Kini Mrirta bukan hendak menyeberang, melainkan berjalan menyusur trotoar. Mirta harus meninggalkan tempat itu kalau dia tidak ingin mati kering seperti dendeng. Namun baru beberapa kali melangkah, Mirta melanggar sebuah sepeda yang di parker melintang. Sepeda itu tumbang dan tubuh Mirta serta merta menindihnya. Suara berderak di sambut sorak-sorai dari seberang jalan dan itu suara Tarsa.
            Pemilik sepeda datang hanya untuk mengurus kendaraannya. Tarsa yang sejenak tanpa asyik bermain yoyo dibawah pohon kerai payung di seberang jalan,juga datang. Tetapi,Tarsa hanya menonton ketika Mirta bersusah payah mencoba berdiri. Tangan Mirta menggapai-gapai sesuatu yang mungkin bias di jadikan pegangan. Karena tangannya gagal menangkap sesuatu maka Mirta tak bias tegak. Ia jongkok seperti mayat yang di keringkan. Kepalanya terasa menjafdi gasing yang berputar makin lama makin cepat. Kesadarannya mulai mengawang meski demikian, Mirta tahu Tarsa sudah berada di dekatnya.
            “Panas,Kang Mirta?”
            “Panas sekali, bangsat!” kata Mirta dengan suara kering dan samar.
            “Sekarang kamu mau membelikan aku es limun laya,kan?”
                        Mirta tak menjawab. Namun Tarsa mengerti bahwa Mirta sudah tak tahan lagi berada lebih lama di bawah matahari. Tarsa juga sudah tahu bahwa Mirta menyerah. Maka tanpa tawar-menawar lagi Tras membawa Mirta menyebrang dan berhenti dekat tukang minuman. Segelas es limun di minumnya dengan penuh rasa kemenangan.
            Mirta juga minum, bukan es limun melainkan air putih;segelas,segelas lagi dan segelas lagi. Selesai membayar minuman Mirta minta di antar ketempat yang teduh.
            Dalam bayangan pohon kerai paying depan stasiun, Tarsa kembali bergembira dengan yoyonya. Nmun Mirta duduk memeluk lutut, diam seperti bekicot. Tiga gelas air putih yang baru di minumnya muncul kembali kepermukaan kulit, menjadi keringat untuk mendinginkan badan yang terlalu lama tersengat matahari. Rasa pening terus menggigit kepalanya. Dan Mirta terhuyung kesamping karena tanh yang di dudukinya terasa miring dan terus bertambah miring. Ketika merasa tanah makin cepat berayun, Mirta merebahkan badan, melengkung seperti bangkai udang. Keringatnya mulai kering karena sapuan angin.  Tapi wajahnya perlahan-lahan berubah pucat. Napasnya megap-megap. Terdengar rintihan lirih dari mulutnya, lalu segalanya tampak tenang. Mirta terbujur di bawah kerai payung depan stasiun. Mirta tertidur atau Mirta pingsan. Dan di dekatnya Tarsa tetap gembira dengan yoyo yang melesat turun-naik di tangan.
            Tanpa sedikit pun berkedip, matahari terus beringut kebarat Bayangan kerai paayung bergerak kearah sebaliknya dan lama-lama wajaah Mirta tertatap langsung oleh matahari. Terik yang kembali menyengat kulit mulai membuat Mirta terjaga atau siuman. Dan hal pertama yang di rasakan ketika Mirta mencoba duduk adalah rasa dingin yang merambah seluruh badan, Mirta menggigil. Dan bel stasiun berdentang nyaring. Pengumuman berkumandang kereta akan segera masuk .Tarsa menggulung yoyonya dan berbalik kearah Mirta.
            “Kerata datang. Kang ayo masuk stasiun.”
            Mirta tak memberi tanggapan. Ia hanya menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir pening.
            “Kang kereta datang. Ayo masuk nanti ketinggalan.”
            Tarsa tak sadar. Diraihnya tangan Mirta. Kere picek ini harus apalagi kalau tidak mengemis kepada para penumpang, pikir Tarsa.
            Tetapi Tarsa terkejut ketika menyentuh tangan Mirta. Panas, Tarsa juga melihat bibir Mirta sangat pucat.
            “Kamu sakit, Kang ?”
            “Tidak”, jawab Mirta lirih. Tarsa ragu. Dirabanya kembali tangan Mirta memang panas. Dan bibir itu memang pucat. Tarsa bertambah ragu.
            “Bila kamu tidak sakit, ayo bangun. Kamu kere,bukan?Yang namanya kere harus ngemis,bukan?”
            “Kali ini aku malas.”
            “Tapi uangmu sudah habis dan kita belum makan. Kamu juga belum kasih aku upah!”
            “Ya perolehan hari ini memang sangat sedikit.”
            “Itu salahmu, Kukira kamu tolol, tak pandai mengemis.”
            “Tolol? Aku sudah puluhan tahun jadi kere. Suda puluhan anak penuntunku. Tetapi baru bersamamulah aku sering dapat duit, kamu sendiri yang tolol, “kan?
            “Kamu yang punya mata. Seharusnya kamu bisa melihat orang yang bisanya mau kasih receh punya mata lain.”
            “Omong kosong.. Bagaimana aku bisa aku mengenali orang seperti itu?”
            “Betul,kan? Kamu memang tolol. Perhatikan mata mereka. Orang yang suka memberi receh punya mata lain.”
            “Ah,taik kucing! Orang picek bisa melihat mata orang lain?”
            “Sudah kubilang aku puluhan tahun jadi pengemis. Kata temen-temen yang melek, mata orang mata orang yang suka memberi memang beda.”
            “Tidak galak?”
            “Ah betul itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul.”
            Mata orang yang suka memberi, tidak galak. Mata orang yang suka memberi, kata teman-teman yang melek, enak di pandang. Ya ku kira betul, mata orang yang suka memberi memang enak di pandang. “
             Tarsa nyengir. Ada suara gemuruh da bunyi rem logam yang mengurat telinga. Kereta masuk.
            “Akan ku cari peumpang-penumpang yang matanya enak di pandang. Ayo Kang Mirta kita jalan.”
            Mirta tidak sedikit pun bergerak.
            “Sudah ku bilang kali ini aku malas. Apa kamu lupa kereta yang baru datang? Kereta utama bukan? Kita tidak akan bisa masuk kerea seperti itu. Ngemis lewat jendela pun payah. Tunggu saja nanti kereta kelas tiga.”
            “Tapi kita belum makan, Kang?”
            “Percuma mengemis di kereta api utama. Aku sudah berpengalaman. Jadi trurutilah apa yang ku bilang. Tunggu saja kereta kelas ketiga.”
            Tarsa diam meski hatinya jengkel bukan main. Bukan hanya jengkel kepada Mirta melainkan juga kepada kata-katanya yang benar belaka. Tarsa ingat, memang sulit mencari orang yang matanya enak di pandang dalam kereta kelas satu. Melalui jendela ia sering melihat berpsang-pasang mata di balik kaca tebal itu; mata yang dingin seperti mata bambu, mata yang menyesal karena telah tertatap sosok seorang kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang amat jauh.
            Ada bunyi keruyuk dari perut. Tarsa menelan ludah. Ia mencoba melupakan semua dengan yoyonya. Tetapi bunyi dari perutnya makin sering terdengar. Tarsa keluar dari banyangan kerai payung, berjalan tak menentu dan berbalik lagi. Ia ingin mengajak Mirta, untung-untungan mengemis kepada penumpang kereta yang baru datang. Tetapi di lihatnya Mirta sudah rebah kembali. Tubuhnya menggigil dan terasa sangat panas. Ketika Tarsa meraih tangannya, Tarsa memandangi penuntunnya itu dengan perasaan campur aduk. Mungkin ia menyesal telah menjemur Mirta terlalu lama demi es limun. Mungkin juga ia jengkel ketika menyadari dirinya tidak lebih dari kacung;sialan hidupku tergantung hanya kepada seorang kere tua dan keropos matanya itu. Mampus kamu kang Mirta!
            Ah,tidak kamu jangan mati. Kalau kamu nanti mati,Kang Mirta siapa nanti yang kutuntun? Siapa nanti yang akan kuantar mencari orang-orang yang punya mata enak di pandang?
            Peluit Lokomotif berbunyi nyaring dan kereta kelas satu bergerak meninggalkan stasiun. Matahari melirik tajam dari belahan langit barat. Ada pengemis buta terbujur luglai di bawah pohon kerai payungdepan stasiun. Tarsa sungguh menyesal telah memeras habis-habisan lelaki yang meski kere dan buta, namu dialah satu-satunya orang yang tiap hari memberinya upah.
            Bahkan Tarsa mulai takut Mirta benar-benar sakit lalu mati.
            Dalam ketakutannya, Tarsa berpikir bahwa dia lebih baik tidak lagi menyiksa Mirta. Tarsa juga berpikir bahwa dia lelaki baik, tidak lagi menyiksa Mirta. Tarsa juga berpikir bahwa sebaiknya ia ikuti saja semua kata Mirta, hanya mengemis di kereta kelas tiga. Dalam hati Tarsa mengaku, sebagai pengemis Mirta sudah sangat-sangat berpengalaman.
            Bel di stasiun kembali berdering. Di umumkan, kereta akan masuk. Tarsa hafal, yang akan tiba adalah kereta kelas tiga dari Surabaya. Di tolehnya Mirta yang masih menggeletak di tanah. Mulut Mirta setengah terbuka, bibirnya sangat pucat. Napasnya pendek-pendek. Ketika di raba tubuh Mirta masih terasa sangat panas.
            Kereta masuk dan remnya terasa menggores hati. Perut Tarsa berkeruyuk. Tarsa ingin mengoyang tubuh Mirta, tetapi ragu, Maka Tarsa hanya berbisik di telinga lelaki buta yang tengah tergolek itu. Lirih bisiknya.
            “Kang Mirta bangun kereta api kelas tiga sudah datang. Ayo kita cari orang-orang yang matanya enak di pandang.”
            Tak ada reaksi apapun dari tubuh lunglai itu. Matahari makin miring ke barat, namun panasnya masih menyengat. Tarsa gagap, tak tahu apa yang harus di lakukannya. Mungkin tidak sengaja ketika dia mengulang berbisik di telinga Mirta.
            “Kang kamu ingin kuantar menemui orang-orang yang matanya enak di pandang bukan?”
            Hening.


HASIL ANALISIS UNSUR INSTRINSIK

1.      TEMA
PENGEMIS
Bukti kutipan: “…Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras pisang; kering, compang-camping dan gelisah.”

2.      TOKOH :
1)      MIRTA
Bukti kutipan : Mirta merekam lintang pukang lalulintas dengan kedua telinganya.

2)      TARSA
Bukti kutipan : Ketika Tarsa meraih tangannya, Tarsa memandangi penuntunnya itu dengan perasaan campur aduk.

3.      A. LATAR TEMPAT : DEPAN STASIUN
Bukti kutipan : “… Mirta berdiri di seberang jalan stasiun.”
B. LATAR WAKTU : SIANG HARI
Bukti kutipan : Dan matahari pukul satu siang tak sedetik pun mau berkedip. Sinarnya jatuh harus menembus batok kepala Mirta dan membawa seribu kunang-kunang.
C. LATAR SUASANA : RAMAI
Bukti kutipan : Sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson serentak membentaknya.
4.      PENOKOHAN :
1.      WATAK MIRTA

A.    PANTANG MENYERAH
Bukti kutipan : Tangan Mirta menggapai-gapai sesuatu yang mungkin bisa  jadikan pegangan.

B.     SABAR
Bukti kutipan : Mirta jengkel dan tak ingin diperas terus menerus. Ia akan mencoba bertahan.

C.     PASRAH
Bukti kutipan : Ketika merasa tanah makin berayun, Mirta merebahkan badan, melengkung seperti bangkai udang.

2.       TARSA

A.    PEMAKSA
Bukti kutipan : “…bahkan akan mengancam mendorong Mirta ke dalam got kecuali Mirta mau …”

B.     MASA BODOH
Bukti kutipan : Tetapi Tarsa hanya menonton ketika Mirta bersusah payah mencoba berdiri.

C.     KASAR
Bukti kutipan : “Ah, taik kucing! orang picek bisa melihat mata orang lain?”

5.      ALUR : MAJU
            Bukti kutipan : Dan bel stasiun bordering nyaring. Pengumuman berkumandang kereta akan segera masuk.
6.      AMANAT : Janganlah memaksakan kehendak orang lain.

Bukti kutipan : “Akan ku cari peumpang-penumpang yang matanya enak di pandang. Ayo Kang Mirta kita jalan.”Mirta tidak sedikit pun bergerak. “Sudah ku bilang kali ini aku malas.