ANALISIS UNSUR
INTRINSIK CERPEN
“MATA YANG ENAK DI PANDANG”
(AHMAD TOHARI)
DISUSUN
OLEH:
KELOMPOK
OPERATION WEDDING :
1.IKO SEPTIAN PUSPITA DIANTI
2.YAYUK ANGGRAENI
3.RINA ASTATI
SMK AIRLANGGA
BALIKPAPAN
XII AKUTANSI 2
2014
MATA YANG ENAK
DIPANDANG
(Karya Achmad Tohari)
Di bawah matahari pukul satu siang, Mirta berdiri
diseberang jalan depan stasiun. Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras
pisang;kering,compang-camping dan gelisah. Mirta merekam lintang-pukang lalu lintas
dengan kedua telinganya. Dengan cara itu pula Mirta mencoba menyelidik dimata
Tarsa,penuntunnya,berada. Namun MIrta segera sadar bahwa Tarsa memang sengaja
meninggalkan dirinya ditempat yang terik dan suli itu. Memanggang Mirta di atas
aspal gili-gili adalah pemerasan kali
ini untuk segelas es limun. Tadi pagi Tarsa sengaja membimbing Mirta boleh
mendesis dan mengumpat sengit. Tapi Tarsa tertawa,bahkan mengancam akan
mendorong Mirta ke dalam got kecuali Mirta mau memberi sebatang rokok. Sebelum
itu,Tarsa menolak perintah Mirta agar ia berjalan agak lambat. Perintah itu
baru dipenuhi setelah Mirta membelikannya lontong ketan.
Mirta
jengkel dan tak ingin diperas terus menerus . Ia akan mencoba bertahan maka mesti kepalanya serasa diguyur pasir
pijar dari langit, Mirta tak ingin memanggil Tarsa . Berkali kali ditelannya .
Dan matahari pukul satu siang tak sedetikpun mau berkedip. Sinarnya jatuh harus
menembus batok kepala Mirta dan membawa seribu kunang-kunang. Mirta mulai
goyang. Ia bergerak untuk mencari tempat yang teduh dengan kekuatan sendiri.
Kaki yang bergetar itu mencoba turun dari gili-gili. Namun, sebelum telapaknya
menyentuh jalan, klakson-klakson serentak membentaknya. Mirta terkejut dan
surut.
Kembali
menjadi patung kelaras yang gelisah, Mirta berdiri goyang di atas gili-gili.
Kunang-kunang lebih banyak lagi masuk kerongga matanya yang keropos. Kedua
kakinya bergerak lagi. Kini Mrirta bukan hendak menyeberang, melainkan berjalan
menyusur trotoar. Mirta harus meninggalkan tempat itu kalau dia tidak ingin
mati kering seperti dendeng. Namun baru beberapa kali melangkah, Mirta
melanggar sebuah sepeda yang di parker melintang. Sepeda itu tumbang dan tubuh
Mirta serta merta menindihnya. Suara berderak di sambut sorak-sorai dari
seberang jalan dan itu suara Tarsa.
Pemilik
sepeda datang hanya untuk mengurus kendaraannya. Tarsa yang sejenak tanpa asyik
bermain yoyo dibawah pohon kerai payung di seberang jalan,juga datang.
Tetapi,Tarsa hanya menonton ketika Mirta bersusah payah mencoba berdiri. Tangan
Mirta menggapai-gapai sesuatu yang mungkin bias di jadikan pegangan. Karena
tangannya gagal menangkap sesuatu maka Mirta tak bias tegak. Ia jongkok seperti
mayat yang di keringkan. Kepalanya terasa menjafdi gasing yang berputar makin
lama makin cepat. Kesadarannya mulai mengawang meski demikian, Mirta tahu Tarsa
sudah berada di dekatnya.
“Panas,Kang
Mirta?”
“Panas
sekali, bangsat!” kata Mirta dengan suara kering dan samar.
“Sekarang
kamu mau membelikan aku es limun laya,kan?”
Mirta
tak menjawab. Namun Tarsa mengerti bahwa Mirta sudah tak tahan lagi berada
lebih lama di bawah matahari. Tarsa juga sudah tahu bahwa Mirta menyerah. Maka
tanpa tawar-menawar lagi Tras membawa Mirta menyebrang dan berhenti dekat
tukang minuman. Segelas es limun di minumnya dengan penuh rasa kemenangan.
Mirta
juga minum, bukan es limun melainkan air putih;segelas,segelas lagi dan segelas
lagi. Selesai membayar minuman Mirta minta di antar ketempat yang teduh.
Dalam
bayangan pohon kerai paying depan stasiun, Tarsa kembali bergembira dengan
yoyonya. Nmun Mirta duduk memeluk lutut, diam seperti bekicot. Tiga gelas air
putih yang baru di minumnya muncul kembali kepermukaan kulit, menjadi keringat
untuk mendinginkan badan yang terlalu lama tersengat matahari. Rasa pening
terus menggigit kepalanya. Dan Mirta terhuyung kesamping karena tanh yang di
dudukinya terasa miring dan terus bertambah miring. Ketika merasa tanah makin
cepat berayun, Mirta merebahkan badan, melengkung seperti bangkai udang.
Keringatnya mulai kering karena sapuan angin. Tapi wajahnya perlahan-lahan berubah pucat.
Napasnya megap-megap. Terdengar rintihan lirih dari mulutnya, lalu segalanya
tampak tenang. Mirta terbujur di bawah kerai payung depan stasiun. Mirta
tertidur atau Mirta pingsan. Dan di dekatnya Tarsa tetap gembira dengan yoyo
yang melesat turun-naik di tangan.
Tanpa
sedikit pun berkedip, matahari terus beringut kebarat Bayangan kerai paayung
bergerak kearah sebaliknya dan lama-lama wajaah Mirta tertatap langsung oleh
matahari. Terik yang kembali menyengat kulit mulai membuat Mirta terjaga atau
siuman. Dan hal pertama yang di rasakan ketika Mirta mencoba duduk adalah rasa
dingin yang merambah seluruh badan, Mirta menggigil. Dan bel stasiun berdentang
nyaring. Pengumuman berkumandang kereta akan segera masuk .Tarsa menggulung
yoyonya dan berbalik kearah Mirta.
“Kerata
datang. Kang ayo masuk stasiun.”
Mirta
tak memberi tanggapan. Ia hanya menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir
pening.
“Kang
kereta datang. Ayo masuk nanti ketinggalan.”
Tarsa
tak sadar. Diraihnya tangan Mirta. Kere picek ini harus apalagi kalau tidak
mengemis kepada para penumpang, pikir Tarsa.
Tetapi
Tarsa terkejut ketika menyentuh tangan Mirta. Panas, Tarsa juga melihat bibir
Mirta sangat pucat.
“Kamu
sakit, Kang ?”
“Tidak”,
jawab Mirta lirih. Tarsa ragu. Dirabanya kembali tangan Mirta memang panas. Dan
bibir itu memang pucat. Tarsa bertambah ragu.
“Bila
kamu tidak sakit, ayo bangun. Kamu kere,bukan?Yang namanya kere harus
ngemis,bukan?”
“Kali
ini aku malas.”
“Tapi
uangmu sudah habis dan kita belum makan. Kamu juga belum kasih aku upah!”
“Ya
perolehan hari ini memang sangat sedikit.”
“Itu
salahmu, Kukira kamu tolol, tak pandai mengemis.”
“Tolol?
Aku sudah puluhan tahun jadi kere. Suda puluhan anak penuntunku. Tetapi baru bersamamulah
aku sering dapat duit, kamu sendiri yang tolol, “kan?
“Kamu
yang punya mata. Seharusnya kamu bisa melihat orang yang bisanya mau kasih
receh punya mata lain.”
“Omong
kosong.. Bagaimana aku bisa aku mengenali orang seperti itu?”
“Betul,kan?
Kamu memang tolol. Perhatikan mata mereka. Orang yang suka memberi receh punya
mata lain.”
“Ah,taik
kucing! Orang picek bisa melihat mata orang lain?”
“Sudah
kubilang aku puluhan tahun jadi pengemis. Kata temen-temen yang melek, mata
orang mata orang yang suka memberi memang beda.”
“Tidak
galak?”
“Ah
betul itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul.”
Mata
orang yang suka memberi, tidak galak. Mata orang yang suka memberi, kata
teman-teman yang melek, enak di pandang. Ya ku kira betul, mata orang yang suka
memberi memang enak di pandang. “
Tarsa nyengir. Ada suara gemuruh da bunyi rem
logam yang mengurat telinga. Kereta masuk.
“Akan
ku cari peumpang-penumpang yang matanya enak di pandang. Ayo Kang Mirta kita
jalan.”
Mirta
tidak sedikit pun bergerak.
“Sudah
ku bilang kali ini aku malas. Apa kamu lupa kereta yang baru datang? Kereta
utama bukan? Kita tidak akan bisa masuk kerea seperti itu. Ngemis lewat jendela
pun payah. Tunggu saja nanti kereta kelas tiga.”
“Tapi
kita belum makan, Kang?”
“Percuma
mengemis di kereta api utama. Aku sudah berpengalaman. Jadi trurutilah apa yang
ku bilang. Tunggu saja kereta kelas ketiga.”
Tarsa
diam meski hatinya jengkel bukan main. Bukan hanya jengkel kepada Mirta
melainkan juga kepada kata-katanya yang benar belaka. Tarsa ingat, memang sulit
mencari orang yang matanya enak di pandang dalam kereta kelas satu. Melalui
jendela ia sering melihat berpsang-pasang mata di balik kaca tebal itu; mata
yang dingin seperti mata bambu, mata yang menyesal karena telah tertatap sosok
seorang kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari
dunia yang amat jauh.
Ada
bunyi keruyuk dari perut. Tarsa menelan ludah. Ia mencoba melupakan semua
dengan yoyonya. Tetapi bunyi dari perutnya makin sering terdengar. Tarsa keluar
dari banyangan kerai payung, berjalan tak menentu dan berbalik lagi. Ia ingin
mengajak Mirta, untung-untungan mengemis kepada penumpang kereta yang baru
datang. Tetapi di lihatnya Mirta sudah rebah kembali. Tubuhnya menggigil dan terasa
sangat panas. Ketika Tarsa meraih tangannya, Tarsa memandangi penuntunnya itu
dengan perasaan campur aduk. Mungkin ia menyesal telah menjemur Mirta terlalu
lama demi es limun. Mungkin juga ia jengkel ketika menyadari dirinya tidak
lebih dari kacung;sialan hidupku tergantung hanya kepada seorang kere tua dan
keropos matanya itu. Mampus kamu kang Mirta!
Ah,tidak
kamu jangan mati. Kalau kamu nanti mati,Kang Mirta siapa nanti yang kutuntun?
Siapa nanti yang akan kuantar mencari orang-orang yang punya mata enak di
pandang?
Peluit
Lokomotif berbunyi nyaring dan kereta kelas satu bergerak meninggalkan stasiun.
Matahari melirik tajam dari belahan langit barat. Ada pengemis buta terbujur
luglai di bawah pohon kerai payungdepan stasiun. Tarsa sungguh menyesal telah
memeras habis-habisan lelaki yang meski kere dan buta, namu dialah satu-satunya
orang yang tiap hari memberinya upah.
Bahkan
Tarsa mulai takut Mirta benar-benar sakit lalu mati.
Dalam
ketakutannya, Tarsa berpikir bahwa dia lebih baik tidak lagi menyiksa Mirta.
Tarsa juga berpikir bahwa dia lelaki baik, tidak lagi menyiksa Mirta. Tarsa
juga berpikir bahwa sebaiknya ia ikuti saja semua kata Mirta, hanya mengemis di
kereta kelas tiga. Dalam hati Tarsa mengaku, sebagai pengemis Mirta sudah
sangat-sangat berpengalaman.
Bel
di stasiun kembali berdering. Di umumkan, kereta akan masuk. Tarsa hafal, yang
akan tiba adalah kereta kelas tiga dari Surabaya. Di tolehnya Mirta yang masih
menggeletak di tanah. Mulut Mirta setengah terbuka, bibirnya sangat pucat.
Napasnya pendek-pendek. Ketika di raba tubuh Mirta masih terasa sangat panas.
Kereta
masuk dan remnya terasa menggores hati. Perut Tarsa berkeruyuk. Tarsa ingin
mengoyang tubuh Mirta, tetapi ragu, Maka Tarsa hanya berbisik di telinga lelaki
buta yang tengah tergolek itu. Lirih bisiknya.
“Kang
Mirta bangun kereta api kelas tiga sudah datang. Ayo kita cari orang-orang yang
matanya enak di pandang.”
Tak
ada reaksi apapun dari tubuh lunglai itu. Matahari makin miring ke barat, namun
panasnya masih menyengat. Tarsa gagap, tak tahu apa yang harus di lakukannya.
Mungkin tidak sengaja ketika dia mengulang berbisik di telinga Mirta.
“Kang
kamu ingin kuantar menemui orang-orang yang matanya enak di pandang bukan?”
Hening.
HASIL ANALISIS UNSUR INSTRINSIK
1. TEMA
PENGEMIS
Bukti kutipan: “…Sosok pengemis buta itu seperti
patung kelaras pisang; kering, compang-camping dan gelisah.”
2. TOKOH :
1) MIRTA
Bukti
kutipan : Mirta merekam lintang pukang lalulintas dengan kedua telinganya.
2) TARSA
Bukti
kutipan : Ketika Tarsa meraih tangannya, Tarsa memandangi penuntunnya itu
dengan perasaan campur aduk.
3. A. LATAR TEMPAT : DEPAN STASIUN
Bukti kutipan : “… Mirta berdiri di seberang jalan
stasiun.”
B. LATAR
WAKTU : SIANG HARI
Bukti
kutipan : Dan matahari pukul satu siang tak sedetik pun mau berkedip. Sinarnya
jatuh harus menembus batok kepala Mirta dan membawa seribu kunang-kunang.
C. LATAR
SUASANA : RAMAI
Bukti
kutipan : Sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson serentak
membentaknya.
4. PENOKOHAN :
1. WATAK MIRTA
A. PANTANG MENYERAH
Bukti
kutipan : Tangan Mirta menggapai-gapai sesuatu yang mungkin bisa jadikan pegangan.
B. SABAR
Bukti
kutipan : Mirta jengkel dan tak ingin diperas terus menerus. Ia akan mencoba
bertahan.
C. PASRAH
Bukti
kutipan : Ketika merasa tanah makin berayun, Mirta merebahkan badan, melengkung
seperti bangkai udang.
2. TARSA
A. PEMAKSA
Bukti kutipan : “…bahkan akan mengancam mendorong
Mirta ke dalam got kecuali Mirta mau …”
B. MASA BODOH
Bukti kutipan : Tetapi Tarsa hanya menonton ketika
Mirta bersusah payah mencoba berdiri.
C. KASAR
Bukti kutipan : “Ah, taik kucing! orang picek bisa
melihat mata orang lain?”
5. ALUR : MAJU
Bukti
kutipan : Dan bel stasiun bordering nyaring. Pengumuman berkumandang kereta
akan segera masuk.
6. AMANAT : Janganlah memaksakan
kehendak orang lain.
Bukti kutipan : “Akan ku cari
peumpang-penumpang yang matanya enak di pandang. Ayo Kang Mirta kita
jalan.”Mirta tidak sedikit pun bergerak. “Sudah ku bilang kali ini aku malas.